SISSCA Sawahlunto: Indikasi Geografis dan Nilai Historis Songket Silungkang!

Kain Songket Silungkang

SISSCA Sawahlunto: Karya Warisan Sawahlunto

Digilaw.id – Di antara hamparan perbukitan dan sisa-sisa kejayaan tambang batubara, tersembunyi sebuah warisan budaya yang tak ternilai harganya: Songket Silungkang.

Kota Sawahlunto sekali lagi berhasil menyelenggarakan Sawahlunto International Songket Silungkang Carnival (SISSCA) 2024, perhelatan tahunan yang menyoroti kekayaan budaya kain Songket Silungkang, salah satu warisan budaya paling berharga dari Sumatera Barat. Sejak pertama kali digelar, SISSCA telah menjadi ajang bergengsi untuk memamerkan keindahan songket yang telah diproduksi sejak abad ke-14. Namun, edisi kali ini terasa lebih istimewa. Bukan hanya karena keindahan kain yang semakin bersinar di bawah sorotan lampu malam, tetapi juga karena Songket Silungkang kini telah diakui secara resmi melalui sertifikasi Indikasi Geografis (IG), sebuah pencapaian monumental yang diperoleh pada tahun 2019.

SISSCA 2024 bukan sekadar karnaval biasa. Dengan tema It’s Time for Sawahlunto,” acara ini menjadi wujud komitmen untuk mengangkat potensi kota kecil bersejarah ini ke panggung internasional. Selama tiga hari penuh, dari 6 hingga 8 September 2024, SISSCA menghadirkan rangkaian acara yang memadukan budaya, seni, dan ekonomi kreatif, termasuk pameran produk lokal, penampilan seni, hingga fashion show dengan model-model yang mengenakan Songket Silungkang. Tahun ini, acara diperkirakan akan menarik lebih dari 60 peserta, dengan total hadiah mencapai Rp97 juta, menjadi motivasi bagi pengrajin, desainer, dan pelaku industri kreatif untuk menampilkan karya terbaik mereka.

Doc. Lusda Suanrty Renchmark
Foto: Buya Mahyeldi (Gubernur Sumbar) beserta Ibu Nia Niscaya, Adyatama Kemenparekraf

Namun, yang membuat SISSCA semakin berkesan adalah bagaimana acara ini menjadi momentum untuk merayakan perjalanan panjang Songket Silungkang menuju pengakuan dunia. Sertifikat Indikasi Geografis yang diterima Songket Silungkang tidak hanya melindungi produk ini dari ancaman pemalsuan, tetapi juga memberi peluang ekonomi baru bagi pengrajin lokal. Saat ini, songket ini tidak hanya menjadi kebanggaan Sawahlunto, tetapi juga menjadi ikon budaya Indonesia yang diakui di kancah internasional. Karnaval SISSCA, dalam konteks ini, menjadi lebih dari sekadar festival budaya—ia adalah simbol kebangkitan ekonomi kreatif yang berakar pada warisan tradisi, sambil merangkul masa depan di bawah payung hukum yang lebih kokoh.

Antara SISSCA Sawahlunto dan Songket Silungkang: Sejarah, Filosofi, Bahan, dan Motif

Beragam motif Songket Silungkang di pamerkan pada perhelatan SISSCa 2024, Sabtu (07/09/2024). Foto/Mindi
Beragam motif Songket Silungkang di pamerkan pada perhelatan SISSCa 2024, Sabtu (07/09/2024). Foto/Mindi

Sejarah Songket Silungkang berakar dalam kebudayaan Minangkabau yang berfokus pada nilai adat dan tradisi. Konon, songket ini pertama kali diproduksi oleh masyarakat Silungkang pada abad ke-14 sebagai simbol status sosial. Pada masa itu, kain songket hanya digunakan oleh kaum bangsawan dan kalangan istana, mengingat proses pembuatannya yang rumit dan materialnya yang mahal, seperti benang emas dan perak.

Songket Silungkang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Minangkabau, terutama dalam upacara adat dan pernikahan. Tidak jarang, songket ini juga digunakan sebagai maskawin atau hadiah dalam pernikahan.

Kata “songket” berasal dari istilah “sungkit” dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia, yang berarti “mengait” atau “mencungkil”. Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya, yaitu dengan mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, kemudian menyelipkan benang emas.

Selain itu, menurut beberapa pendapat, kata “songket” mungkin juga berasal dari kata “songka”, yaitu songkok khas Palembang yang dipercaya sebagai asal mula kebiasaan menenun dengan benang emas. Istilah “menyongket” berarti “menenun dengan benang emas dan perak.” 

Secara historis, penenunan songket dikaitkan dengan kawasan permukiman dan budaya Melayu, dan menurut beberapa pendapat, teknik ini diperkenalkan oleh pedagang India atau Arab. Tenun songket merupakan proses pembuatan kain dari benang emas atau benang perak yang dilakukan dengan menggunakan alat tradisional dan dikerjakan secara manual oleh tangan manusia.

Ilmu menenun yang dimiliki oleh orang tua diwariskan turun-temurun kepada anak-anak mereka agar kain ini tetap lestari seiring perkembangan zaman.

Namun, seiring berjalannya waktu, Songket Silungkang mengalami pasang surut. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, produksinya sempat menurun drastis akibat kondisi ekonomi dan sosial yang tidak mendukung. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia, kerajinan ini kembali berkembang. Pada tahun 1960-an hingga 1980-an, songket mulai diperkenalkan ke pasar yang lebih luas, termasuk di luar Sumatera Barat.

Baru pada awal abad ke-21, Songket Silungkang mulai dikenal di kancah internasional. Pameran-pameran budaya di dalam dan luar negeri, termasuk World Intellectual Property Organization (WIPO) di Jenewa pada 2024, menjadi momentum penting bagi kain tenun ini untuk mendapat pengakuan dunia. Hal ini tidak lepas dari peran serta pemerintah daerah dan komunitas pengrajin yang terus melestarikan warisan ini.

Berbeda dengan Songket Pandai Sikek yang lebih dikenal di kalangan masyarakat Sumatera Barat, Songket Silungkang berkembang dengan gaya tenun yang lebih beragam dan motif yang dipengaruhi oleh budaya lokal.

Pengrajin tradisional menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), disebut juga palantai atau palanta, untuk menenun kain ini. Teknik yang diwariskan secara turun-temurun ini menjadikan Songket Silungkang sebagai bagian integral dari budaya Minangkabau, menonjolkan kehalusan keterampilan tangan pengrajin dan kekayaan motif yang merefleksikan simbol-simbol alam dan sosial setempat.

Kualitas Songket Silungkang sangat dipengaruhi oleh bahan dasar yang digunakan. Songket ini umumnya dibuat dari benang lungsi berbahan katun sebagai dasar. Sementara itu, benang pakan, yang digunakan untuk membuat motif, sering kali terbuat dari benang emas, perak, atau tembaga, memberikan kilauan khas pada kain ini. Penggunaan material ini memberikan keindahan visual yang semakin mencolok, terutama saat terkena cahaya, yang menjadi alasan utama mengapa Sawahlunto International Songket Silungkang Carnival (SISSCA) pada 2024 diselenggarakan pada malam hari—menonjolkan kilauan songket yang eksotis.

Setiap helai benang yang digunakan untuk membuat Songket Silungkang memiliki makna filosofis yang dalam. Benang lungsi, yang merupakan benang dasar, terbuat dari katun yang melambangkan kesederhanaan dan kekuatan pondasi kehidupan. Sementara itu, benang pakan atau benang motif yang terbuat dari emas, perak, dan tembaga, melambangkan kemewahan, keberanian, dan ketangguhan. Kombinasi ini menciptakan harmoni antara kesederhanaan dan keindahan, seperti filosofi masyarakat Minangkabau yang menyeimbangkan adat dan kemajuan.

Menariknya, para pengrajin juga menggunakan pewarna alami yang diperoleh dari bahan-bahan lokal, seperti kulit jengkol, daun gambir, dan kulit kayu. Pewarnaan alami ini tidak hanya memberikan nilai estetika yang tinggi, tetapi juga menjadi bukti bahwa kerajinan ini sangat ramah lingkungan. Dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan lingkungan, songket dengan pewarna alami menjadi produk yang paling diminati, baik di pasar domestik maupun internasional.

Salah satu keunikan utama dari Songket Silungkang terletak pada ragam motif yang tidak hanya mencerminkan keindahan alam tetapi juga nilai-nilai sosial budaya Minangkabau. Motif-motif seperti pucuak rabuang (tunas bambu) dan kaluak paku (lengkungan pakis) melambangkan pertumbuhan dan ketahanan, yang menjadi simbol penting bagi masyarakat yang selalu bergerak maju dalam menjaga tradisi di tengah tantangan modernisasi.

Motif rangkiang (lumbung padi) misalnya, melambangkan kemakmuran dan hasil bumi yang melimpah, mencerminkan pentingnya peran pertanian dalam kehidupan masyarakat. Sementara itu, itiak pulang patang (bebek pulang di sore hari) menggambarkan keseimbangan dan keteraturan dalam kehidupan sehari-hari, simbol dari keterikatan masyarakat Minangkabau dengan siklus alam.

Kombinasi warna pada motif-motif tersebut juga menunjukkan keahlian para pengrajin dalam menciptakan komposisi yang harmonis. Benang emas dan perak tidak menutupi seluruh permukaan kain, memberikan kesan elegan yang menjadikan songket ini cocok untuk dikenakan dalam acara formal maupun semi-formal.

Indikasi Geografis: Perlindungan Hukum dan Dampaknya

Perjalanan panjang Songket Silungkang menuju pengakuan Indikasi Geografis tidaklah mudah. Setelah bertahun-tahun melalui proses administrasi dan pengumpulan data, pada akhirnya, pada tahun 2019, Pemerintah Kota Sawahlunto berhasil mendaftarkan Songket Silungkang sebagai produk yang memiliki Indikasi Geografis di bawah naungan Kementerian Hukum dan HAM. Pengakuan ini merupakan sebuah pencapaian besar, bukan hanya karena memberikan perlindungan hukum, tetapi juga karena membuka peluang ekonomi yang lebih luas.

Dengan adanya sertifikasi IG, Songket Silungkang kini memiliki perlindungan hukum yang melindunginya dari tiruan atau penggunaan tanpa izin oleh pihak luar. Hanya songket yang diproduksi di wilayah Silungkang dengan teknik tradisional yang dapat disebut sebagai Songket Silungkang. Ini memberikan kepastian kepada konsumen bahwa mereka membeli produk yang asli dan otentik, serta melindungi pengrajin dari persaingan tidak sehat.

Dari segi ekonomi, pengakuan IG juga membuka peluang pasar yang lebih luas. Sejak menerima sertifikasi, Songket Silungkang telah dipamerkan di berbagai ajang internasional, termasuk di Sidang Majelis Umum Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) ke-65 di Jenewa pada tahun 2024. Ini menempatkan songket ini di peta internasional, membuka akses ekspor, dan meningkatkan nilai jual produk di pasar domestik maupun global.

SISSCA 2024 yang berlangsung pada 6–8 September juga merupakan ajang yang berhasil meningkatkan omset para pengrajin dan penjual songket. Berdasarkan laporan dari Kepala Dinas Pariwisata Kota Sawahlunto, Adri Yusman, acara ini telah berperan besar dalam mendorong sektor ekonomi kreatif, khususnya bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang bergerak di bidang songket.

Di tingkat lokal, SISSCA 2024 menjadi ajang penting untuk mempromosikan produk ini, sekaligus meningkatkan pendapatan pengrajin dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Pengakuan Indikasi Geografis tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga berdampak pada kebanggaan masyarakat lokal. Sertifikasi IG menunjukkan bahwa Songket Silungkang bukan hanya sekadar produk ekonomi, tetapi juga warisan budaya yang diakui dan dihormati oleh negara. Hal ini mendorong generasi muda di Silungkang untuk kembali terlibat dalam industri tenun, yang sebelumnya mulai ditinggalkan.

Selain itu, pemerintah daerah berperan aktif dalam pemberdayaan pengrajin. Pada tahun 2018 saja, jumlah pengrajin Songket Silungkang mencapai 914 orang, meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah juga menyediakan fasilitas seperti Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dan pelatihan teknis untuk meningkatkan keterampilan para pengrajin, sehingga mereka dapat terus berinovasi dan meningkatkan kualitas produk mereka.

Peningkatan keterampilan ini bukan hanya penting untuk kelangsungan kerajinan tenun, tetapi juga untuk meningkatkan daya saing produk di pasar global. Dalam konteks ini, pemerintah setempat tidak hanya berperan sebagai regulator, tetapi juga fasilitator yang mendukung keberlanjutan industri kerajinan lokal.

Kepastian Hukum dan Perlindungan Warisan Budaya

Dengan adanya Indikasi Geografis, masa depan Songket Silungkang terlihat cerah. Namun, tantangan ke depan tetap ada, terutama dalam hal inovasi dan pemasaran. Seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan selera pasar, pengrajin Songket Silungkang perlu beradaptasi tanpa kehilangan esensi tradisi mereka. Beberapa inisiatif untuk meningkatkan visibilitas produk melalui platform digital seperti e-commerce dan media sosial sudah mulai dilakukan, termasuk melalui promosi yang dilakukan oleh Digilaw Indonesia dan kantor hukum yang bergerak di bidang Hak Kekayaan Intelektual seperti Renchmark.

Teknologi juga dapat membantu pengrajin dalam mempercepat proses produksi, tanpa mengorbankan kualitas produk. Misalnya, pengembangan alat tenun yang lebih efisien dapat membantu pengrajin memproduksi songket dengan lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih besar, sehingga memenuhi permintaan pasar yang semakin meningkat.Pada akhirnya, Songket Silungkang bukan hanya sekadar kain tenun yang indah, tetapi juga cerminan dari kekayaan sejarah, budaya, dan identitas masyarakat Silungkang. Pengakuan Indikasi Geografis memberikan perlindungan yang sangat dibutuhkan, sambil membuka peluang ekonomi yang lebih luas di masa depan. Dengan komitmen untuk terus melestarikan tradisi ini dan memanfaatkan teknologi modern, Songket Silungkang akan terus bersinar, baik di tingkat lokal maupun internasional, sebagai produk unggulan Indonesia yang kaya akan nilai dan sejarah.

Buka chat
Konsultasi?
Halo,
Ada yang dapat Digilaw bantu?